Sejarah Gunung Tambora Meletus 1815 dan Kondisi Alamnya Saat Ini - tamboratrekking

Sejarah Gunung Tambora Meletus 1815 dan Kondisi Alamnya Saat Ini

Di Indonesia sebelah timur, tepatnya Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjulang degap Gunung Tambora di tengahnya. Gunung tersebut ...


Di Indonesia sebelah timur, tepatnya Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjulang degap Gunung Tambora di tengahnya. Gunung tersebut kini berada dalam kawasan konservasi Taman Nasional Tambora. Lokasinya termasuk dalam wilayah 2 kabupaten, Bima dan Dompu. 

Tambora yang saat ini memiliki kawah tempat bertumbuh gunung api kecil bernama "Doro Afi Toi" menyimpan kisah bencana dramatis. Lebih dari 200 tahun silam, puncak Gunung Tambora ditaksir masih setinggi 4.300 mdpl. Namun, letusan dahsyat pada 1815 meluluhlantakkan hampir separuh badan Tambora. Kini, tingginya hanya 2.851 mdpl. Dampaknya bukan main. 

Kerusakan tak hanya dirasakan penduduk lokal maupun nusantara, tetapi mencapai level global. Besarnya daya ledak erupsi Tambora pada 10 April 1815 diilustrasikan Gillen D'Arcy Wood dalam Tambora: The Eruption that Changed The World (2014) sebagai tragedi "The Pompei of The East." Sejarah Gunung Tambora Meletus 1815 Letusan dahsyat Gunung Tambora terjadi pada bulan April 1815. Banyak ahli vulkanologi meyakini erupsi Tambora 1815 merupakan letusan gunung api terbesar yang disaksikan manusia sepanjang 2000 tahun terakhir. 


Tanda-tanda erupsi sebenarnya sudah teramati setahun sebelum peristiwa. Seorang administratur kolonial dari Inggris, John Crawfurd menyaksikan awan abu hitam melambung dari puncak Gunung Tambora, saat kapalnya merapat di pantai Sumbawa pada tahun 1814. 

Beberapa bulan setelahnya, Crawfurd menyadari abu yang mengguyur dek kapalnya menjadi awal sebuah erupsi dengan skala raksasa. Kajian yang disusun oleh Sonny C. Wibisono, dalam Bencana & Peradaban Tambora 1815 terbitan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (2017), mengungkapkan episode erupsi Tambora telah dimulai sejak awal April 1815. Informasi ini berdasarkan cerita kesaksikan dari berbagai kawasan di dekat Pulau Sumbawa, termasuk Jawa.

Banyak kesaksian dari berbagai penjuru kepulauan nusantara dikumpulkan oleh pemimpin otoritas kolonial Inggris, Thomas Stamford Raffles. Letnan Gubernur Inggris di Hindia-Belanda itu tercatat menuntaskan dokumentasinya pada 25 September 1815, atau 5 bulan setelah Tambora meletus. Dari catatan Raffles, diketahui bahwa orang-orang di Banyuwangi sudah mendengar serangkaian dentuman pada 1 April 1815, disertai hujan abu 2 hari kemudian. Rentetan suara ledakan dengan interval rerata 15 menit didengar pula oleh penduduk Yogyakarta sedari 5 April.

Di pusat wilayah Keraton Yogya itu, bunyi letusan Tambora menyerupai dentam meriam. Hari-hari berikutnya, langit Yogya gelap akibat hujan abu. Bunyi mirip letupan meriam dari arah selatan masuk pula ke telinga orang-orang di Makassar pada 5 April 1815. Dentam demi dentam bahkan tidak berhenti sepanjang malam. 

Di Makassar maupun Yogya, banyak yang sempat mengira rangkaian bunyi letusan Tambora tadi jadi pertanda serangan musuh atau fenomena ghaib. Setelah beberapa hari melepaskan letusan-letusan "awal," erupsi Gunung Tambora memasuki fase puncak selama 10-11 April 1815. Kesaksian mengenai terdengarnya bunyi ledakan keras pada hari tersebut datang dari lebih banyak daerah. Tempo suara dentuman pun menjadi lebih cepat, bahkan mirip tembakan artileri beruntun, seturut penuturan orang-orang di Makassar. Warga pedalaman wilayah Sumatra (Bengkulu) sampai turun gunung dan keluar hutan setelah mendengar suara letusan demi letusan datang dari arah timur.

Kawasan Pulau Jawa, mulai dari Cirebon dan sebelah timurnya bahkan berselimut gelap saat siang maupun malam karena hujan abu berhari-hari. Getaran mirip gempa malah dirasakan orang-orang Solo, Rembang, dan kota-kota lain di bagian timur Pulau Jawa, hingga Sumenep (Madura). Kesaksian dari lokasi terdekat dengan Gunung Tambora disampaikan oleh Raja Sanggar. Keraton kerajaan Sanggar berada di lereng Tambora, 35 km arah tenggara dari gunung itu. Sanggar adalah 1 dari 3 kerajaan di lereng Gunung Tambora, selain Pekat dan Tambora. Seorang perwira Inggris, Letnan Owen Phillips mencatat kesaksian Raja Sanggar, bahwa sejak 10 April 1815, tiga kolom api menyembur dari puncak Gunung Tambora. Lahar panas lantas mengalir ke segala penjuru, melumuri semua sisi badan gunung, hingga membuat lautan di dekat Tambora bernyala api.

Momen seram tadi dibarengi oleh angin puyuh yang menerbangkan semua rumah. Air laut naik 12 kaki tak lama kemudian, mendatangkan tsunami yang menyapu wilayah luas. Rupa bencana alam kemungkinan lebih hebat lagi saat puncak letusan muncul pada 11 April 1815 malam. Letnan Owen Phillips merupakan perwira Inggris yang diutus oleh Raffles untuk mengunjungi Pulau Sumbawa, hanya sekitar dua pekan usai erupsi Tambora terjadi. Dalam laporannya kepada Raffles, Owen Philips mengaku sempat melihat mayat-mayat manusia bergelimpangan tak terkubur selama ia mendatangi Sanggar, Dompu, dan Bima. Letusan Gunung Tambora pada April 1815 diperkirakan telah menewaskan setidaknya 70an sampai 90an ribu penduduk Pulau Sumbawa. Setelah erupsi, kelaparan dan diare meluas karena tanah dan sumber air telah rusak akibat timbunan abu. Kondisi ini membuat 30-an ribu warga yang selamat bermigrasi ke Jawa, Bali, dan Sulawesi (Makassar) secara massal, beberapa pekan selepas erupsi. Dampak berat tak hanya dirasakan rakyat Sumbawa. Tanah-tanah pertanian di pulau-pulau dekat Sumbawa, seperti Bali dan Lombok, ikut susah menghasilkan padi setelah bulan April 1815.

Hal ini membuat penduduk pulau-pulau tersebut sangat bergantung pada pasokan beras dari Jawa. Hasil studi vulkanolog asal Inggris, Clive Oppenheimer dalam buku Eruptions that Shook the World (2011), menyimpulkan letusan Gunung Tambora pada April 1815 memuntahkan material magma sekitar 140 giga ton (setara ±50 km3 batuan padat). Letusan Tambora April 1815 diperkirakan segera meruntuhkan kaldera, sekaligus memompa kolom abu erupsi hingga membumbung setinggi 43 km. Erupsi ini melepaskan pula sekitar ±60 mega ton sulfur ke lapisan stratosfer, 6 kali lipat dari dari sulfur yang terlontar dari letusan Gunung Pinatubo tahun 1991. Dalam skala Indeks Eksplosivitas Vulkanik, letusan Gunung Tambora 1815 berada di level 7. Angka itu menegaskan tingginya daya rusak erupsi tersebut. Hanya ada 4 letusan gunung api yang masuk kategori level 7 Indeks Eksplosivitas Vulkanik selama 100 abad terakhir.

Dengan skala erupsi sebesar itu, letusan Gunung Tambora 1815 mengakibatkan anomali musim di level global. William K. Klingaman dan Nicholas P. Klingaman melalui The Year Without Summer: 1816 and the Volcano That Darkened the World and Changed History (2013) menerangkan, pada musim dingin tahun 1815-1816, selubung abu yang nyaris samar menutupi dunia, memantulkan sinar matahari, mendinginkan suhu, serta mendatangkan malapetaka pola cuaca. Musim panas di Amerika Serikat pada tahun 1816 berjalan aneh karena dibarengi penurunan suhu hingga melewati titik beku. Hujan salju mendatangi sejumlah wilayah di Amerika Utara saat musim panas 1816. Anomali musim di Eropa bahkan memicu kegagalan panen yang membuat bencana kelaparan meluas pada akhir 1815, disertai datangnya wabah tifus. Copy@tirto.id

Disqus
Blogger

Out Trusted Partners

Lorem Ipsum is simply dummy text. Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s.

  • Professionally designed themes
  • Choose from professionally designed themes
  • Themes that work across all devices
  • From professionally designed themes that work across